<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11226496\x26blogName\x3dTetirah+...\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://irfanmoe.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://irfanmoe.blogspot.com/\x26vt\x3d6101411460645826096', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Tetirah ...

Adalah sebuah "laku" untuk beristirahat sejenak dari rutinitas. Di sini akan terendapkan segala penat dan kepayahan hidup. Situs ini dibangun bukan untuk siapapun, melainkan bagi kicauan burung-burung, semerbak bunga-bunga, bening telaga, dan hijaunya rerumputan. 

Wednesday, April 27, 2005

6:39 PM - Mbah Mie

Entah siapa yang memberi nama begitu. Sampai sekarang pun saya tetap tidak tahu siapa nama beliau sebenarnya. Nama panggilan "Mbah Mie" itu hanya gara-gara beliau menjual mie rebus di depan pasca. Bukan mie pangsit, bukan dengan rombong. Beliau cuman punya seruangan bilik kecil untuk menjual mie instant. Bilik ini bahkan tidak layak disebut bilik. Berwujud gang sempit diantara studio foto dan toko kelontong, sekilas memang tidak begitu nampak dari luar. Walaupun demikian, bagi mereka yang telah menjadi pelanggannya, tidak sulit menemukan warung ini.

Direbus, digoreng, dengan kuah atau "nyemek-nyemek" (agak basah), merupakan hak prerogatif pemesan. Mie beragam merek ditatanya rapi di meja kecil. Konsumen boleh mengambil sendiri mie tsb, lalu menyerahkannya untuk dimasak. Perbedaan merek akan membedakan harga. Taruhlah Mie Rakyat yang Rp 600,00 itu. Setelah jadi mie rebus, Mbah Mie mematok harga Rp 900-1000,00. Untuk Indomie yang Rp 875,00 direbus jadi Rp 1200-1500,00. Cukup murah untuk ukuran tanggal tua. Minumannya seperti STMJ, kopi, teh, dan minuman-minuman instant semacam itu. Camilan yang tersedia berupa krupuk pasir, permen, dan berbagai varian snack yang umum ada di warung-warung lain.


Rambutnya belum seluruhnya menguban, sebagian besar masih nampak hitam, dikonde. Tubuhnya yang kecil selalu dibalut busana old fashioned alias kebaya model lawas. Keriput-keriput di wajah, lengan dan lehernya seolah memberitahu kita bahwa telah cukup banyak dia makan asam, garam dapur dan kehidupan ini. Orangnya ramah dan murah senyum.

Mbah Mie memang bisa diandalkan. Ketika yang lain sudah tutup, pintu warungnya tetap terbuka lebar. Lewat tengah malam (pukul 24.00 WIB), beliau masih terjaga. Dengan sabar dia menunggu sisa-sisa manusia yang masih bergentayangan di malam hari. Siapa lagi kalau bukan para tukang becak, satpam, netter, mahasiswa yg lagi melekan garap tugas/studio, ataupun aktivis yang dilanda kelaparan. Dedikasinya bagi orang-orang itu, telah teruji dalam bilangan puluhan tahun.

Dahulu warung beliau masih di depan, yaitu yang sekarang disewa oleh studio foto. Jika kita datang malam-malam, dapat kita jumpai beliau duduk di kursinya sambil terkantuk-kantuk. Tidak jarang beliau tertidur pulas menanti pembeli. Kalau sudah begitu, jangan sungkan-sungkan untuk membangunkannya. Beliau tidak pernah marah, bahkan biasanya tersenyum. Setelah menanyakan apa pesanan kita, segera dia menyalakan kompor, merebus air dan memasakkan pesanan itu.

Pelanggannya tidak banyak. Dengan cara demikian, entah berapa laba yang bisa didapatnya. B/C Ratio Analysis sepertinya sulit menganalisa konsep bisnisnya. Pisau-pisau analisis manajemen modern niscaya akan tumpul dibuatnya. Semuanya seperti mengalir begitu saja, persis penuturan beliau tentang sejarah kawasan Ketawanggede. Melalui kisahnya, kita dapat gali banyak hal. Tentang hamparan sawah-sawah yang hijau membentang di kawasan ini. Sungai yang airnya mengalir jernih. Rumpun-rumpun bambu yang wingit, banyak gendruwonya dan kisah orang-orang dulu yang pernah mewarnai tanah Ketawanggede ini.

Sekarang, banyak hal yang telah berubah.
Sawah-sawah telah menjadi rumah, kos-kosan dan gedung kuliah.
Sungai di tengah sawah menjelma selokan yang menjadikan lab hidrolika terbelah.
Rerumpun bambu telah hilang, jadi lahan parkiran.
Anak-anak muda silih berganti datang dan pergi.
Tahun-tahun akan terus berlalu,
Sementara Mbah Mie akan terkantuk-kantuk terus menunggu.
Sampai kapankah itu? Entahlah aku tak tahu ...

Ketawanggede, 27 April 2005

©  irfan 2005