Perang, dalam segala bentuknya memang akan selalu menyisakan penderitaan. Betapa banyak manusia yang telah menjadi korban dari perang ini. Jika dihitung, dari sejak jaman Perang Troya (Yunani, 1180SM), hingga Operation Iraqi Freedom (Baghdad 2003), berapa banyak jiwa melayang akibat tusukan pedang, hunjaman panah, desing peluru, pecahan mortir, rudal, hingga bom nuklir? Jutaankah? Milyaran?
Tak hanya jiwa yang melayang. Kota-kota hancur, gedung-gedung rata dengan tanah. Anak-anak kehilangan ibunya, ibu-ibu kehilangan anaknya. Tak jarang penderitaan pasca perang tidak kalah kejam ketimbang saat perang berlangsung. Penyakit menular di kamp pengungsian, trauma psikologis, cacat-cacat fisik, kehancuran ekonomi, sosial dan budaya, adalah derita tambahan yang lazim bagi korban perang.
Ironisnya, kejadian mengerikan itu seringkali hanyalah ulah segelintir orang-orang yang merasa berkuasa atas orang-orang lain. Nama-nama besar mereka dan golongannya lalu bermunculan di seantero dunia. Hitler di Jerman, Phol Phot di Kamboja, Saddam Husein di Irak, dan tentu saja, Suharto di Indonesia,… lho kok?
Di Indonesia, perang bukanlah hal yang aneh. Kisah-kisah heroik perlawanan rakyat terhadap penjajah asing bersanding dengan kisah perlawanan rakyat terhadap penguasa. Cerita tentang Surabaya 10 November 1945, akan diteruskan dengan kisah DOM di Aceh, Peristiwa Tanjung Priok, atau Jembatan Semanggi di Jakarta. Bahkan, ada pula yang tidak jelas motivasinya. Tawuran antar kampung, bentrok antar warga, Tawuran pelajar/mahasiswa seringkali mewarnai lembaran berita di media massa. Hanya karena masalah uang Rp 2500,00 perak, diejek, atau sebab-sebab remeh lainnya, orang sekampung bisa tawuran. Jangan heran… inilah Indonesia ….
Begitu akrabnya negeri ini dengan tawuran, di kota-kota besar sering kita jumpai tulisan, “WAR” (bahasa Inggris), yang berarti “perang”. Tidak hanya sebagai grafiti dinding-dinding dalam kampung, tulisan “WAR” ini juga terpampang mentereng di pinggir-pinggir jalan, sebagai baliho, spanduk, poster, atau papan nama. Taruhlah di 3 kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, dan Malang. Di sana akan banyak kita jumpai kata “WAR-net” di pinggir jalan. Dan yang dapat kita saksikan kemudian adalah banyak sekali pemuda berbondong-bondong mendatangi tempat itu. Untuk apa coba, kalau bukan untuk berperang? Di tempat lain antusiasme masyarakat tertuju pada suatu tempat yang bertuliskan “WAR-tel”. Di sini mereka bahkan bersedia antri untuk bisa berperang… ck… ck... Ini belum semuanya. Ada juga yang lebih senang mendatangi tempat dengan label “WAR-teg”. Konon, di sini mereka akan sangat nyaman melakukan perang dengan sajian yang ada… Masyaallah!! Akankah ini semua akan kita biarkan saja?